Emang Gue Pikirin

Iip Fariha
6 min readJan 30, 2022

--

#jurnaling

capture dari kelas webinar BWC-16

“Menulis itu gampang”

Prof.Wahyudi Siswanto.

Hari ini saya sedang mendengarkan rekaman zoom kuliah beliau, karena saya ketinggalan kelas pada hari sebelumnya. Saya langsung tersenyum dan mencoba untuk merasakan gairah bahwa menulis itu seharusnya memang menyenangkan. Tiba-tiba saya menerima paket buku tulisan beliau yang berjudul “Menulis Semudah Tersenyum”. Buku ini ditulis bersama David MinG. “Kok pas ya?,” seru saya tersenyum kedua kalinya. Buku ini hadiah, setelah saya berani memposting poster pribadi untuk siap menulis buku yang dipandu oleh beberapa orang Coach dalam aktivitas Book writing Camp ke 16. Kegiatan ini direkomendasikan oleh kakak kelas SMA yang mengikuti kelas angkatan sebelumnya. Bahkan Kang Ahmad Gunara, Kakak kelas saya ini bukan hanya berhasil menyelesaian novelnya tetapi juga mendapat apresiasi sebagai peserta terpavorit. Saya ikut bangga dan lagi-lagi saya tersenyum. Menyenangkan sekali berada diantara orang-orang yang memiliki minat dan semangat yang positif untuk mencoba sesuatu yang baru.

Sebenarnya, saya sudah cukup lama tergabung juga dengan kawan-kawan KMB, Komunitas Menulis Bersama. Kami sudah melahirkan beberapa buku antologi yang menarik. Buku essay, puisi, cerpen, prosa liris bahkan e book pribadi lucu-lucuan dengan canva. Saya pernah mencoba belajar tentang menyelesaikan tulisan dalam 11 hari. Kegiatan ini dipandu oleh seorang penulis handal yang pernah memimpin redaksi Penerbit Mizan, Pak Bambang Trim. Ya, saya berhasil menyelesaikan setiap tahapan, kecuali naskah yang tak tuntas dan akhirnya tidak dilanjutkan karena tampaknya saya belum cukup bahan untuk mengisi naskah tersebut. Satu pembenaran saya adalah, memang tak menyiapkan bahan atau berpacu dengan waktu untuk melakukan riset dan tampaknya masih kurang termotivasi untuk menuntaskannya.

Saya pernah dicemplungi teman ke dalam grup yang dipandu oleh Coach Surya Kresnanda untuk membuat buku dalam 3 bulan. Tapi saya cuma ngintip sebentar dalam nggak lama saya out dari grup karena emang gak minat amat menulis buku. Padahal teman saya bilang,”Teteh mah atuh sudah bisa jadi meureun bukunya”. “Lha kok sekarang saya malah ketemu beliau lagi di BWC -16 ya?” seperti sebuah “kutukan” untuk menulis buku belum hilang. Wha.. h a.. ha…ha

Saya rajin kok menulis, bersama KMB juga rajin mengadakan majlis ilmu yang kelasnya kecil dan dipandu oleh orang-orang profesional terkait membangun budaya literasi termasuk menyalurkan hobi menulis. Kami lalu mengumpulkan naskah untuk diterbitkan sebagai antologi. Saya pernah belajar juga menulis cerpen dari Gol A Gong dan memiliki buku Rahasia penulis karya beliau yang ditanda tangan oleh beliau dengan tambahan pesan, “Jadilah penulis yang berpihak pada kebenaran”, demikian tulisnya. Untuk satu buah cerpen sih, berhasil kita terbitkan bersama cerpen kawan-kawan, seperti buku-buku antologi fiksi lainnya. Tampaknya tak merasa ada masalah serius ketika menulis, isinya toh hal-hal yang terkait dengan imajinasi, persepsi, pendapat pribadi atau pengalaman saja.

Lagi-lagi pakai perasaan, untuk menyumbang satu tulisan saja saya tak terlalu repot. Terkadang merasa hal itu bukan suatu pencapaian, karena mungkin 20 persen saja dari proses pembuatan sebuat buku. Masih banyak proses lain yang saya tidak ikut terlibat. Sebagian tulisan menjadi tanggung jawab kontributor lain, belum lagi ada tim editing, lay out, panitia yang urus ini dan itu sehingga terkadang saya lupa bahwa saya pernah menyetorkan sebuah naskah. Hanya 1500 kata saja, pikirku. Tak terbersih sekalipun untuk merendahkan diri, hanya saja bukan pula untuk menjadi kebanggaan. Semua orang nyatanya memang bisa menulis. Itu saja.

Saya tak kurang mendapat dukungan dari pasangan ketika saya berkutat di depan laptop atau mendapat lecutan dari kawan-kawan yang terkadang memberikan apresiasi atas tulisan saya. Seperti kata kang Ahmad, “Ah sayang kalau gak ikutan Book Camp, kan tulisannya sudah banyak, coba deh jadikan buku saja. Saya bahkan memiliki dukungan adik kelas yang bekerja sebagai editor untuk membukukan tulisan di blog medium tempat saya menyimpan tulisan-tulisan ini.

“Apa lagi sih yang kurang?” Mungkin memang saya tak pernah berpikir untuk menjadi seorang penulis. Pak Wahyudi menyadarkan saya hal yang cukup fundamental bahwa selain memang tidak niat untuk membuat buku, karenanya tak tertarik menyelesaikan naskah, mungkin saya juga tak menganggap menulis buku sebagai hal yang utama. Menulis bagi beliau justru merupakan ajang beramal, bersodaqoh melalui tulisan. “Wow” mengapa saya tak memikirkan bahwa bisa jadi ada orang-orang yang terinspirasi dari tulisan kita dan hidupnya berubah, selain bahwa kita menulis untuk mencoba menemukan potensi diri kita yang lain atau membangun self branding yang baru. Salah satu kata Pak Wahyudi membuat saya tersudut, “Buatlah versi diri yang baru”. Saya yakin beliau ingin banyak orang mendukungnya untuk membuat 1 juta warisan buku untuk membangun peradaban.

Menulis sambil berpikir, jadi terasa berat, kalau dengan tersenyum mungkin perasaan kita hepi, maka jadi lebih mudah. Tulislah, gak usah dipikirin, senyumlah dulu, baru menulis.

Tak peduli tulisan kita seperti apa bentuknya, emang gue pikirin. Bagaimana bila ada yang mencibir karena tidak berkualitas? emang gue pikirin. Masa ia seorang sarjana magister tulisannya babak belur atau cuma sanggup menulis receh begini, emang gue pikirin. “Ah malu-maluin almamater aja menulis kok ga mutu, eh eeemang… gue pikirin?. Ini tulisan, tulisan gue juga, terserah gue aja kalee… wk wk.Kali ini saya tertawa terbahak.

Saya sendiri tidak merasa bahwa tulisan akan memalukan atau akan ada orang yang mencibir, itu sih emang egepe beneran. Tapi saya selama ini emang gue pikirin kudu bikin buku? Bukan berarti saya tak setuju dengan gagasan literasi dan bahwa buku merupakan warisan peradaban, hanya saja memang belum pernah serius aja untuk menuntaskan secara utuh gagasan yang mungkin juga bagi saya tidak terlalu unik atau keren untuk “dijual”. Cukuplah sekedar membuat catatan pribadi dan disimpan di blog ini. “Sederhana amat ya mikirnya?”

Terlebih dari proses membuat buku juga sesuatu yang serius. Rupanya saya belum memiliki kesediaan untuk meluangkan waktu dan berpikir tuntas. Bahkan mungkin ogah-ogahan membuat riset untuk mendapatkan data akurat, menguji kebenaran dari fakta yang kita sajikan juga referensi yang baik untuk mendukung tulisan tersebut. Penulis yang profesor ini membuat saya tersenyum malu. “Ah ya masuk akal, saya lama sekali memutuskan untuk mencoba menulis buku, barangkali termasuk kategori malas dan belum fokus pada karya tulis. Rekan kerja saya bilang,” Maju mundur cantik”. Saya tak pernah mundur sih karena memang tak pernah maju. wha.. ha .. haa…

“Jadi?” mungkin jalan pelan-pelan aja dan tak memperhatikan bagaimana orang lain semangat berlari. Pembenaran berikutnya lagi,

saya tak pernah bercita-cita menjadi penulis sejati

atau tak punya bahan untuk referensi,

mungkin khawatir tulisan terlalu basi

karena isinya tak begitu berarti.

Sementara yang lain perlu jaga gengsi..

“Ah ya, kenapa ga egepe aja sih?”

Pasti Pak Sis akan bilang begitu lagi.

Nulis, nulis.. nulis!

lagi, lagi dan lagi

Bakal dikejar Coach Surya tiap pagi,

Saya tak mungkin quit lagi.

Katanya beliau pernah membuat buku tanpa referensi, ah ini sih gue banget. Saya menulis dengan begitu saja, terkadang mengalirkan apa yang keluar dari pikiran dan terkadang tak tahu darimana hal itu saya peroleh. Bacaan saya tak banyak, sebagai pembaca yang lambat dan masih gaptek menggunakan referensi online jelas saya babak belur bila menulis kudu pake tumpukin dulu buku referensi. Prosesnya bahkan bisa kebalik, nulis dulu baru nyari tahu kira-kira yang ngomong kaya gini dimana dan siapa ya. Bila ketemu lewat mesin mbah Gugel, saya cantumkan saja linknya. Sekali waktu mungkin saya mencari sesuatu bahan yang perlu saya pastikan kebenarannya dan mengutip sumber tulisan tersebut sebagai pelengkap. Yang penting ga nyomot dan plagiat. Isinya emang ngocoblak aja. emang gue pikirin. Ini kan tulisan saya, orang suka atau tidak bukan urusan saya.

Tip jurus egepe dari penulis produktif yang membuat skripsi dan tesisnya sebanyak 600 halaman ini, memang jitu.

Bagi beliau rumus menulis itu hanya tiga hurup E G P. Emang Gue Pikirin. “Tulis aja lagi!” Mungkin ada satu paragraf saja dari tulisan di buku kita yang mengispirasi orang, itu sudah cukup, daripada berlembar-lembar tapi destruktif. Jadi bersikaplah egepe, selesai deh, “Gitu aja”katanya. Lalu, modalnya kan cuma alat tulis, atau malah sebuah hape. Sudah.

Walaupun tentu saja tanpa kepekaan, pengatahuan dan kreativitas, kita mungkin tak akan punya ide untuk menulis. Lalu kita juga perlu kerja keras sampai tuntas hingga menjadikan tulisan itu sebagai buku yang layak di baca orang. Tuntas tas tas….

Bagaimana kalau tak ada yang baca, tak ada yang beli. Ee. ya jadi koleksi pribadi aja, egepe.

Emang perlu punya mental santai dan membumi. Menulis dengan tersenyum dan gak perlu punya target muluk. Walaupun impian beliau sebenarnya sangat melangit.

Baiklah, mari menulis saja yang baik dan benar, selebihnya gak usah dipikirin. egepe.

Kalau sudah dikejar Coach Surya terus saya jatuh dan pingsan dan ga selesai juga bagaimana pak? ah… egepe.

Bandung, 30 Januari 2021

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

No responses yet