Covid -19 sekali ini saja
Diperlukan tindakan yang “abnormal” dalam situasi abnormal. Kita semua menghadapinya bersama, mari kita lewati sekali ini saja.
Awal tahun 2020 menjadi tahun baru yang penuh dengan kejutan. Walaupun di Indonesia, dianggap terlambat dalam merespon wabah Covid-19, namun kita tak perlu bertanya mengapa? Mengapa … kita tak lagi bersama ? Mungkin kita mulai bosan … bersahabat dengan alam… (maaf ini bukan lagu Ebiet ). Saya tidak akan bertanya mengapa. Tapi mari cermati saja apa yang terjadi dan bagaimana kita menghadapinya. Mari kita segera move on, seperti kata Ebiet, mumpung kita masih diberi waktu…
Dunia memang sedang berubah, kehidupan kita semua berubah secara drastis. Semua orang terpaksa lebih banyak tinggal di rumah, bahkan sebagian ada yang sudah tidak dapat keluar dari rumahnya. Kita tidak bisa lagi leluasa keluar atau berkumpul di tempat umum. Namun di sisi lain ada orang lain yang justru tidak bisa tinggal di rumah, terpaksa harus keluar rumah, bahkan walaupun mereka ingin tinggal di rumah. Terutama adalah para pekerja di rumah sakit, para pegawai publik, pelaku ekonomi dan masyarakat umum yang tidak cukup menyimpan tabungan, yang tidak bisa makan bila tidak bekerja atau bahkan sebagia orang yang memang terpaksa berada di jalanan.
Sekolah dan kuliah dilakukan dengan metoda daring, kegiatan bekerja terbatasi, aktivitas sosial berubah, sekarang kita terpaksa social (dan physical?) distancing dengan hampir semua orang, bahkan konon disarankan demikian walaupun di rumah. Kebayang kan kalau tinggal di apartemen dengan dua kamar? Belum lagi sebagian wilayah kita sudah mulai menerapkan lockdown atau sekadar pembatasan mobilitas warganya. Kita nyaris terkurung, terisolasi. Kebijakan di Indonesia kita mengenalnya dengan istilah PSBB, pembatasan sosial berskala besar.
Kabar tentang orang-orang yang meninggal mendadak dan gambaran bahaya covid-19 menyebar lebih cepat dari pada kemampuan kita mendeteksi perjalanan virusnya itu sendiri. Sementara sang virus nyaris tidak pernah benar-benar kita kenali keberadaan nya, di mana ia berada kini. Tentu itu makin mencemaskan kita. Jangan-jangan, jangan-jangan. Ada upaya pemerintah melakukan rapid test agar dapat mendeteksi berapa banyak orang yang sudah terinfeksi, berapa yang berstatus mencurigakan, atau yang benar-benar sehat dan aman. Walaupun konon hasil tes tersebut mencurigakan tidak akurat, selain hasilnya membutuhkan waktu yang lama, sementara tes itu sangat bergantung kapan dilakukan. Sementara hasilnya belum diperoleh, para carrier-pembawa virus sudah terlanjur berinteraksi dengan orang lain dan sempat menularkan. Atau malah tidak sempat diobati dan keburu meninggal. Atau justru terdeteksi sakit, padahal kemudian sebenarnya saat hasil tes keluar dia sudah sehat. Repot bukan?
Untuk orang-orang yang terpaksa berinteraksi dengan orang lain dan mungkin menjadi “pembawa” Covid-19, semakin cemas karena ia juga bisa saja menulari orang lain tanpa sadar.
Kita sedang menghadapi makhluk mikro yang sekarang dianggap berkuasa (Benarkah begitu?). Informasi dan pengetahun yang benar tentang karakter Covid-19 ini benar-benar simpang siur. ini sebagian informasi yang masuk ke benak kita, kita perlu melakukan jeda sesaat dan merenungkanya. sampai kapan kita perlu merenungkannya dan menyimpannya dalam pikiran kita. Saya juga tidak akan menambahkan lebih lanjut fakta-fakta mengenai covid-19. Khawatir ternyata informasinya tidak akurat atau ditemukan fakta ter-update.
Bagaimana pandemi ini berpengaruh pada kehidupan kita, ada beberapa hal yang saya dapat sebutkan di sini:
- Dipicu dan berawal dari informasi yang makin terbuka namun bercampur dengan hoax membangun pola pikir negatif dan terdistorsi.
Update data orang yang meninggal, jumlah orang dalam pemantauan (ODP) meningkat, dan lain-lain, kalau sudah tertular, kemungkinan besar akan meninggal. Tidak ada obatnya dan pasti akan sakit. Semua orang meninggal pasti karena Covid-19. Itu sebagian dari pikiran negatif kita.
2. Kebijakan -kebijakan yang tidak siap ditanggapi oleh kebanyakan orang.
Keputusan tinggal di rumah, menutup jalur keluar kota, lockdown, karantina wilayah, dan lain-lain. Efek samping yang terjadi misalnya bagaimana dengan keluarga yang terpisah? Kecemasan juga terjadi pada orang lain yang baru datang dari luar kota, bahkan baru pulang dari belanja kebutuhan sehari-hari. Orang menjadi sensitif bila ada yang batuk, bersih ataupun demam. Rasa cemas ini juga memancing somatisasi, merasa demam, dan menunjukkan gejala fisik yang dikenali sebagai tanda terpapar Covid-19.
3. Teror yang memicu respon emosional.
Sesuatu yang sangat dramatis, tidak bisa dikendalikan membuat kita merasa tak berdaya. Respon orang beragam, kemarahan, kepanikan sangat wajar terjadi. Tiba-tiba semua orang rajin cuci tangan, menghemat uang, telepon sana sini, tanya saudara. Rajin nonton berita, cek updateberita pemerintah. Beberapa golongan masyarakat mulai panic buying, apakah isi kulkasnya cukup?. Memborong sanitizer, masker, bahkan ada yang membeli alat pelindung diri (APD) dan memakai kostum itu untuk keluar rumah.
4. Kesulitan dengan sumber daya dan akses yang memadai untuk bertahan.
Emak-emak yang selama ini mengandalkan guru di sekolah mulai pusing dengan anak-anaknya, karena tidak mampu menyesuaikan diri dengan kegiatan di rumah. Mereka tidak tahu bagaimana cara belajar baru dan tidak memiliki akses yang memadai atau karena gaptek. Selain itu sumber penghasilan berkurang atau hilang, susah mencari makan, tidak bisa pulang kampung, labeling ODP, tidak punya daya dukung untuk menjaga diri. Dan, banyak alasan lain untuk merasa cemas dan bingung.
5. Tumpulnya daya pikir kritis. Terkoneksi dengan sumber berita, dalam hal ini kita mengandalkan berita terutama dari internet namun tidak terkoneksi dengan diri sendiri. Karena sekarang semua jago medsos-an dan dapat kabar dari mana-mana, setiap orang makin terhubung satu sama lain seluruh dunia.Tetapi kemampuan untuk menyaring berita, berpikir kritis sangat tumpul sehingga segala macam informasi ditelan bulat-bulat.
6. Informasi dari otoritas yang tidak sistematis, atau sulit diimplementasikan di lapangan.
Kekacauan bukan hanya sisi psikologis, namun lockdown memutus rantai ekonomi sebagai besar rakyat, krisis ekonomi dan “distancy”, jarak sosial sesungguhnya yang sudah terjadi pada kelas ekonomi makin tajam dan nyata. Ancaman kelaparan pada masyarakat miskin makin terbuka. Di satu sisi masyarakatlah yang menjadi garda terdepan untuk menghentikan penyebaran covid-19 lebih luas ( preventif ), namun di sisi lain mereka juga membutuhkan jaminan kehidupan dan dihargai sebagai bagian yang terlibat. Rakyat awam sering mendapat label dan paling mudah dipersalahkan.
7. Dampak pada sisi kehidupan lain semakin meluas.
Corona bisa jadi mempertajam jarak sosial yang sudah ada. Walaupun kaum ekonomi menengah mulai belajar berempati dengan berbagi sekadarnya. Sembako, ongkos pulang kampung, membayar gaji dengan cuti panjang. Tetapi tidak semua pelaku ekonomi memiliki kemampuan untuk itu. Jadi bagaimana? Mengharap turun dana APBD untuk menyokong hajat hidup orang miskin yang sekarang makin bertambah.
Wabah membawa dampak pada semua area kehidupan. Bukan hanya urusan politik antarnegara, ekonomi, polarisasi kaum yang mencari aman dengan masyarakat awam sekaligus rawan, urusan pendidikan, cerita konspirasi, perang ekonomi para makelar dalam negeri yang mencari keuntungan sesaat tapi juga membuka luka lama masalah psikologis individual. Sebagai contoh adalah mulai dari teriakan emak-emak yang marah atau curhatanak-anak yang kesal, nyinyir, relasi yang tidak sehat di rumah serta konflik keluarga yang belum sempat kelar. Ada yang berseloroh bahwa covid-19 menurunkan angka kejahatan tapi meningkatkan pertengkaran di keluarga.
Jadi… singkat cerita, dunia kita sedang abnormal. Bila semua abnormal, semua gejala psikologis itu juga bukan gangguan abnormalitas, dalam pengertian umum tindakan normal dalam situasi abnormal. Reaksi wajar dan terjadi pada semua orang! Gejala psikologis pada orang bisa dalam bentuk: merasa bingung, stres, bosan, marah dan reaksi emosional lainnya. Bahkan sudah mulai ada yang mengalami somatisasi, parno terhadap carrier Covid-19 sehingga insecure bila ketemu orang, social distancing berubah menjadi social phobia, obsesif terhadap kebersihan. Waspada tingkat dewa.
Saking wajarnya, kalau lagi sendirian dan ngomong sama HP juga wajar, kecuali kalau HP-nya tiba-tiba menjawab sendiri telepon, Anda perlu segera cek suhu mental Anda. Bila gejala berlanjut, hubungi segera psikolog dan dokter.
Tentu saya ini sisi humornya. Sisi seriusnya adalah bahwa kawan-kawan yang berusaha terkoneksi dengan orang-orang lain seperti grup healing adalah satu tindakan untuk saling menguatkan satu sama lain.
Bukankah begitu teman?
Ijinkan saya untuk mengatakan bahwa kita tak bisa mengharapkan uluran tangan, semua orang belajar untuk mencari sumber daya dari diri kita sendiri, pada saat yang sama kita akan diuji untuk mulai peduli pada orang lain.
Bagaimana kita saling peduli agar mampu tetap sehat dan bahagia walaupun kita tinggal di rumah dan sementara terbatasi dalam lingkup area fisik kita.
Kita bisa menghadapi Covid-19 dan proses isolasi ini dengan tip atau 10 cara sehat dan bahagia.
Bandung, 1 April 2020