Bukan Layangan Putus, Belajar dari Mr Crack
#serialpernikahan
“Jadi ibu Ainun itu dulu pernah punya pacar ya, seorang mahasiswa Hukum anak seorang profesor dan dosenn ya di Fakultas Kedokteran UI tempat Ibu Ainun belajar. Kata Pak Habibie, walaupun sempet pacaran dan dilamarnya, tapi toh mereka tak satu gelombang. Orang teknik membahasakan cinta itu gelombang ya. Menarik sekali film Habibie dan Ainun 3 ini” Kataku pada Paksu panjang lebar. “Kalau kita apa ya?”, tanyaku kemudian. “Kita nyambung gak sih, atau konstlet ya?”, jawab paksu sambil tertawa. “Jangan-jangan nyambungnya saat konstlet deh”, Jawabku sekenanya. Kami tertawa terbahak.
Terkadang kami membahas isu dari tontonan yang kami lihat. Minat saya adalah rumah tangga dan isu-isu psikologis. Saya pernah juga membahas cerita dari film serial layangan putus atau terkadang masalah rumah tangga yang menimpa klien saya. Saya ingin mendengar pendapatnya dan melakukan refleksi bersama atas kasus itu bagi diri kami sendiri. Saya rasa ini tak melanggar kode etik, karena tidak semua hal saya bicarakan dan bukan membuka rahasia klien untuk disebarluaskan. Saya, terkadang memerlukan sudut pandangnya sebagai suami atau sebagai lelaki. Banyak masalah rumah tangga yang membuat kami justru makin belajar bertumbuh dan berdamai dengan diri sendiri. Seperti semua tulisan saya yang berhastag serial pernikahan.
Selalu saya katakan bahwa klien kamilah guru terbaik yang dikirim Allah untuk membimbing kami menempuh kehidupan berkeluarga. Sampai usia pernikahan ke 24 ini saya cukup hapal dengan liku-liku jalan yang kami tempuh. Ibarat sebuah perjalanan, kami menemukan kerikil, kubangan air, tanjakan, jalan yang rusak, jembatan sempit, disalip orang. Ya seperti mengendarai mobil, terkadang kami juga lelah dan juga kehilangan fokus lalu berjuang untuk menemukan keseimbangan. Namun perjalanan cinta juga menemukan suka cita dan keindahan yang sulit diceritakan. Bagaimana rasa yang ada bercampur baur, kegembiraan, humor, penerimaan, rasa haru dan perjuangan. Terkadang mengalami kegagalan, rasa kecewa dan marah yang terbungkus kembali oleh penghargaan dan pemaafan. Terus menerus seperti itu hingga membentuk model keluarga yang kami nikmati saat ini.
Saya pribadi berusaha untuk menelaah setiap pola itu pada relasi keluarga lain. Semakin banyak referensi semakin baik. Itu pula yang akan saya gunakan untuk menolong dan membantu proses konseling.
“Hidup tak semanis teh manis tapi juga tak sepahit kopi, padahal kopinya juga manis, ha ha ha” Kataku suatu sore. Paksu senang ngopi -kopi capucino yang manis kalau sore hari, dan saya menemaninya minum teh sambil menulis atau membaca buku. “Ya tapi tak sejelek sendal butut,” katanya terbahak. “Hidup sudah sulit, jangan lagi dipersulit,”kataku nyengir. Itu adalah penggalan motto hidup Paksu yang langsung dilanjutkannya sendiri. “Kita hidup tak bisa sendiri,” katanya. “Terus?”,tanyaku. “Ya, aku nggak tahu, pokoknya jalani aja” Itulah kekuatan penerimaan paksu dalam versiku, yang membuatku lebih mudah menilai secara objektif isu-isu dalam keluarga.
Terkadang saya geli, terkadang kasian, terkadang sedih mengikuti kasus-kasus perkawinan yang saya tangani. Sejak memutuskan menjadi psikolog dewasa dan konselor pernikahan, semakin banyak kasus keluarga yang mampir ke ruang konseling. Intinya, tidak ada keluarga yang tak memiliki masalah. Sepanjang mereka berkomitmen untuk menemukan solusi bersama yang sama-sama menang dan saling mendukung pada keputusan bersama, hidup akan berjalan baik-baik saja. “Apakah akan ada rasa sakit dan kecewa?” Tentu saja. Kehidupan percintaan dalam keluarga memang tidak semuanya indah, terkadang justru cinta itu menyakitkan. Penerimaan terhadap hal-hal yang kita sebenarnya tak suka itu membutuhkan pengorbanan. Namun disitu pula pelajaran penting untuk menyadari bahwa ada banyak hal yang mungkin pasangan kitapun berada dipihak yang sama. Dia juga perlu belajar menerima kita dengan segala kekurangan dan hal-hal yang membuatnya kesal dan marah. Tidak mungkin semuanya sesuai dengan harapan dan kriteria yang kita inginkan. Berarti kita sama saja, sama-sama tak akan memuaskan ataupun mengecewakan sekaligus. Tetapi sama-sama bisa diterima untuk bersama-sama saling melengkapi.
“Ayah kecewa gak?”, kataku menyelidik. Dia tak bilang hal apa yang mengecewakan saat sedang senang, tapi dia akan bilang,”Ya kalau lihat yang jeleknya terus, ga akan selesai”.
“Wah jangan-jangan banyak juga berarti kejelekanku ya?” pikirku. Ha ha ha ..”Maafin ya!”, kataku kemudian. Paksu cuma tersenyum saja. Biasanya aku minta dipeluk, bukti kalau dia sudah menerimaku. Adegan ini kalau difilm, nanti bisa didramatisir biar lebih romantis. Ha ha ha..
Ada pasangan yang sudah lebih dari 5 tahun datang pada saya, meminta penguatan untuk mengatakan pada pasangannya bahwa ia tak sanggup lagi menjalani pernikahan dengan alasan tak sesuai dengan harapannya. Dalam hatinya terasa ada cinta dan tanggung jawab, tetapi ia tak bisa menerima itu semua karena ia ingin sesuatu yang tak dimiliki oleh pasangannya. “Oh come on!” Saya balik bertanya pada pasangannya berapa skala dia kalau dilihat dari harapannya juga. Pasangannya menggelengkan kepala, diapun tak puas dan tak melihat pasangannya itu tak sesuai, mungkin hanya 60% dengan kriteria yang dia bayangkan. Tapi ia bertahan dan akan mencintainya juga belajar untuk menghormatinya, termasuk bila ia diceraikan. “Lalu untuk apa mereka memutuskan menikah? Apakah hanya tebak dan coba saja, lalu terus menguji sejauhmana mereka menemukan apa yang diinginkan?”
Cinta itu bukan mendapatkan apa yang kita mau, tapi tentang bagaimana kita memberi apa yang kita punya, dan tentang menerima apa yang dipersembahkan oleh cinta untuk kita nikmati bersama. Itu tampak klise dan seolah hanya ada di lagu-lagu romantis jaman pacaran saja. Kenyataanya kita hanya bisa saling berbagi dalam hubungan komplementer, tidak ada ada pasangan yang memiliki semua kriteria. Tidak perlu pula seluruh kedirian kita lebur dengan yang lain. Bahkan suami dan istri adalah pribadi utuh dengan karakteristik yang melekat pada dirinya, sekaligus adalah bagian tak terpisahkan dari pasangannya. Dan seperti kata paksu, kita tak bisa hidup sendirian. Diciptakan sebagai pasangan itu berarti tak utuh saat sendirian. Setiap orang mencari pasangan dalam hidup untuk menjadi utuh, sebagai kodrat kemanusiaan yang terberi dan tak bisa dipungkiri. Kekurangan yang mungkin dianggap perbedaan itu, adalah sisi lain dari relasi komplementer itu sendiri.
Selain itu, adalah konyol bila kita memegang kriteria saat sudah memutuskan untuk memilih dan menjalin pernikahan. Sampai kapanpun pribadi yang positif itu justru berubah dan bertumbuh. Masalahnya, sejauhmana masing-masing memberikan ruang untuk yang lain agar berubah dan menjadi lebih baik. Pasangan kita memiliki masa lalu dan itu tak bisa diubah. Tetapi juga punya masa depan yang kita tak pernah bisa diduga seperti apa dampaknya kelak.
Tetapi saat menjalaninya, kita hanya bisa berdamai dengan keadaan yang ada. Bersyukur menikmati kebaikannya, memaafkan kekurangannya, menambal yang terlihat buruk, mengabaikan hal-hal yang tak sempurna juga saling menghargai dan menyesuaikan diri. Ada hal-hal yang ingin kita ubah, maka ubahlah bila memang ada peluang, motivasi dan kesediaan untuk mengubahnya. Namun lebih banyak lagi hal-hal yang tak terlalu penting diperhatikan, selain merusak kesenangan tetapi juga tak menambahkan kepuasan apapun. Tak ada yang benar-benar sempurna dan karenanya tak mungkin menemukan kepuasan bila kita selalu membuat standar kriteria atau syarat untuk kebahagiaan dari apa yang kita dapatkan dari pasangan. Kebahagiaan itu datang justru dari penerimaan tanpa syarat apapun.
Ada relasi yang dianggap toksik bertahun-tahun dan tiba-tiba telah menjadi kumpulan emosi yang meledak seperti bom waktu. Seorang istri yang merasa telah mengabdikan hidupnya untuk suami dan keluarga ternyata berlatih untuk kebas rasa untuk mengurangi rasa kecewanya. Setelah lebih dari 30 tahun menikah, ia merasa suaminya tak menghargainya lagi dan kini membuatnya sedih hingga ingin berpisah saja. Selama ini ia berusaha baik-baik saja sampai semua anaknya besar dan menikah. Saya tanyakan, “Apakah setelah mendapatkan semua keberhasilannya selama ini, ia akan menyerah?” Ada hal yang tak bisa lagi disesali, padahal banyak pula yang sebenarnya telah berjalan dengan sangat baik. “Whats wrong?”
Tak selalu keluarga yang baik itu bila relasi mereka sejajar. Seorang laki-laki di Indonesia sering dibesarkan dalam budaya patriaki yang mendidiknya untuk dominan dan terkadang arogan untuk merasa setara dengan perempuan. Namun perempuan juga terkadang tak memiliki kemandiran dan harga diri untuk memilih posisi dan menilai bahwa kedudukannya juga setara dengan laki-laki. Di rumah, seorang perempuan dididik diam dan menurut patuh pada aturan otoritas, pada saat yang sama anak laki-laki belajar bagaimana mengendalikan relasi kuasa yang membuatnya merasa lebih percaya diri.
Keduanya memiliki masalah untuk menempatkan dirinya dalam kedudukan yang setara dan seimbang. Tidak semua hal dapat diselesaikan dengan posisi kekuasaan dan bawahan, pasangan pernikahan bukanlah tentang siapa yang berkuasa dan siapa yang tertindas. Cara berpikir yang menempatkan pasangan sebagai dua kutub, kehilangan maknanya tentang arti mendayung perahu bersama dalam analogi sebuah keluarga. Jadi ini bukan soal kesejajaran tapi tentang keseimbangan dan saling menyesuaikan dalam koridor saling menghormati dan melindungi.
Tak bisa dipungkiri saat mungkin salah satu akan menjadi kapten dan yang lain menjadi kelasi. Namun kapten yang baik tahu arah dan pandai membuat keputusan yang tepat dan adil. Demikian juga sebuah hubungan yang tradisional dari sebuah keluarga juga tidak menempatkan pasangannya sebagai kelas rendah yang tidak berpengaruh atau kurang berkontribusi terhadap keselarasan berkeluarga. Kekerasan pada relasi rumah tangga tidak saja dipicu oleh penguasa yang narsis atau egois tetapi juga terjadi saat yang lain mempesepsikan dirinya sebagai korban yang menolak tanggung jawab atau menilai dirinya rendah serta tak berdaya. Ini bukan laki-laki diatas perempuan tapi juga bukan sebaliknya.
Laki-laki dan perempuan adalah pasangan, mereka saling membutuhkan dan bersama dalam cinta untuk berkomitmen saling menjaga.
Teringat kembali pada film Habibie dan Ainun. Titik balik sebuah keluarga adalah saat komitmen itu diputuskan. Ini tentang sebuah pilihan dan bagaimana menjalaninya sebagai anugrah atau sebagai penyesalan. Kisah kedua kekasih ini sangat baik menjadi referensi bagi kita yang mungkin cenderung kurang sabaran dan sudah tergerus jaman serba instan.
Ketika Ibu Ainun memutuskan untuk menikah, ia rela melepaskan kariernya untuk mendukung suami. Pada saat yang sama, Pak Habibie menemukan pasangan yang membuat arah hidupnya lebih jelas. Suatu ketika Pak Habibie mengatakan bahwa Bu Ainun selalu mengerti apa yang beliau perlukan atau dikomunikasikannya walaupun tanpa kata. Barangkali menemukan gelombang yang sama itu tidak mudah, tanpa kejernihan hati dan kesabaran.
Saya sering merenungkan bagian ini, membangun keluarga itu seperti mengikuti perjalanan, suami dan istri bertanggung jawab untuk mengendalikan tombol, seperti gas dan rem. Mobil yang kita tumpangi bersama sedang menempuh perjalanan hidup. Peran kita adalah pilot dan co-pilot yang saling mengerti posisi dan peran yang saling melengkapi. Pola relasi dan komunikasinya seperti radar dan penangkap gelombang, selaras menyatu dan tak terpisahkan.
Saya merasa untuk keluarga Mr Crack ini, mungkin lebih tepat bila diibaratkan menjalankan sebuah pesawat, alih-alih layangan putus yang mengandalkan angin menggiring hidup kemana saja tak tentu arah.
Keluarga perlu memiliki dasar pondasi imtak yaitu iman dan takwa. Selain itu keduanya pembelajar setia. Memang menikah dan hidup perlu ilmu dan keterampilan untuk hidup, kawan. Bagi dua insan yang cerdas dan pantang menyerah ini, iptek adalah jawabannya. Ilmu dan teknologi adalah kunci menempuh hidup sukses di dunia, sehingga mereka memiliki sumber daya dan tak mudah galau saat badai menerjang mereka. Pesawat tak akan retak bila kita mempersiapkan pesawatnya dengan benar, dan mengendalikan kemudinya dengan terlatih. Seterusnya Anda bisa menikmati perjalanannya dengan ketenangan batin sekaligus kewaspadaan hingga pesawat mendarat dengan selamat.
Semoga kini Eyang Habibie dan Ainun bersama kembali dalam perjalanan hidup berikutnya dalam suka cita dan ketentraman husnul khatimah di sisiNya.
Bandung, 20 Februari 2022