psikoPhoto by Tim Mossholder on Unsplash

Benarkan suamiku seorang bisexual?

Iip Fariha
8 min readMay 14, 2020

Pertanyaan ini menjadi judul tulisan, menanggapi curhat seorang sahabat tentang suami temannya yang berprilaku mencurigakan.

Perlu memahami terlebih dulu fakta-fakta serta sikap teman tersebut terkait issue gay, bisex serta orientasi sex pada umumnya. Hal ini disebabkan kasus orientasi sex termasuk dalam kategori yang masih terus diperdebatkan terutama pada kalangan medis, psikologi dan agama. Sebagian ahli pun yang melakukan klaim penelitian masih berbeda pandangan serta sikap.

Dalam tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menjelaskan hal tersebut, tetapi mari kita renungkan dan melakukan “jeda”sebelum bertindak yang dapat memperburuk keadaan.

Beberapa hal patut menjadi bahan renungan, dalam diskusi grup sahabat sebagai teman ngobrol nonprofesional adalah sebagai berikut:

Memahami krisis sebagai ancaman atau peluang

Menemukan fakta (atau kecurigaan) bahwa suami memiliki minat sex sesama jenis tentu menimbulkan shock secara emosional lalu berbuntut konflik dalam keluarga adalah hal wajar. Semua krisis apapun dalam kehidupan individual maupun keluarga dapat menimbulkan ancaman, dalam lingkup terbatas maupun mencakup area kehidupan yang lebih luas. Ancaman ini akan mengubah respon-respon manusia disertai perubahan secara biologis, perasaan dan stabilitas emosi, persepsi, harga diri dan kepercayaan diri, relasi intepersonal dan sosial yang lebih luas.

Pada kasus ini, krisis tergolong issue yang sangat sensitif karena banyaknya pandangan dan perbedaan dari sikap para ahli jiwa, penganut agama serta masyarakat awan, anda dapat melakukan pencarian artikel dan perbedaan pendapat tersebut dari media yang terpercaya. Sehingga tidak mudah untuk menghadapinya. Tulisan tentang orientasi sexual, sangat banyak di media dan dapat terlihat ke arah mana sikap dari penulis tersebut.

Faktanya tidak bisa kita bantah, bahwa kasus ini ada di masyarakat dan di sekitar kita, namun sikap pribadi yang berbeda juga tidak bisa dibantah, saya menghargai perbedaan pandangan tersebut namun bersikap untuk membantu menyelesaikan konflik dan perubahan perilaku yang lebih baik bagi individu dari sudut kesehatan mental dan keyakinan agama. Sementara dalam tulisan ini kita tidak membahas konten perdebatan tersebut, tetapi lebih berempati kepada sahabat yang bersinggungan dengan masalah ini. Sungguh bukan hal yang mudah.

Suatu krisis selain merupakan ancaman juga memiliki peluang perubahan dalam arti kesempatan baru. Tergantung bagaimana individu merespon krisis ini, peluang menjadi krisis lebih besar atau kesempatan yang positif untuk pertumbuhan pribadi dan keluarganya. Perubahan ini tentu saja akan dirasakan oleh kedua pihak, dan berimbas pada relasi yang lebih luas dengan keluarga, teman dan masyarakat. Pertumbuhan pribadi kedua belah pihak dari hadirnya masalah ini belum dapat kita pastikan, tetapi sebagaimana saya percayai bahwa tidak ada suatu kesulitan, kecuali ada kemudahan dan hikmah dibalik itu semua. Percayalah, pasti ada maksud baik Tuhan dibalik ujian ini.

Fakta atau kecurigaan?

Fakta kejadian bahwa suami melakukan chating dan bergabung dalam komunitas gay dapat menjadi ‘ancaman’ bagi stabilitas keluarga. Ketika istri merasakan ada perubahan minat sex, sebagai bentuk rasa ingin tahu atau iseng atau sebagai suatu dorongan batin yang potensial untuk menjadi relasi sexual yang lebih mendalam, maka hal ini memicu konflik relasi sex secara khusus suami istri dan relasi suami istri dalam keberlangsungan keluarga secara lebih luas. Apakah sang Suami memang memiliki minat sesama jenis, atau memang iseng sebagaimana adanya, atau problem lain yang menyertai kejadian dalam chating tersebut? Masih tidak jelas, sampai pembicaraan dilakukan dengan terbuka tanpa rasa takut atau malu.

Masalahnya, issue ini tidak mudah dibicarakan, sementara satu-satunya cara memastikannya adalah dengan pengakuan yang disebut coming out atau sekarang dikenal istilah melela. Melela adalah pengakuan terbuka dari pelaku dalam hal ini suaminya untuk menjelaskan bagaimana dan apa yang terjadi dengan minat dan orientasi sex nya. Memang ada tanda-tanda yang dapat menjadi rujukan seperti mulai terjadi penolakan untuk melakukan relasi sex, atau sering berkumpul dengan komunitas yang dirahasiakan, menunjukkan minat-minat spesifik seperti menonton video homosexual, mengikuti komunitas atau banyak berteman dengan kalangan homosex, dsb. Namun tetap saja itu semua baru menunjukkan kecurigaan minat dan orientasi sexualnya. Belum bahkan belum menunjukkan bukti hubungan perselingkuhan pada tingkat relasi sex dengan sesama jenis.

Respon sang istri dengan melabrak suami, pada contoh kasus ini perlu kita tafsirkan sebagai respon spontan dari perasaan “terancam”yang wajar meskipun pada akhirnya semua tindakan dan relasi yang berlangsung selanjutkan akan menjadi titik balik perubahan dalam relasi keluarga. Semuanya tidak akan sama lagi. Sehingga menjadi wajar pula bila istri menjadi lebih curiga, dan suami menjadi lebih waspada. Komunikasi menjadi lebih tertutup dan rasa aman berkurang. Kecurigaan pada ketertarikan sex suami yang berubah dapat menurunkan rasa harga diri dan ikatan emosional dengan suami, serta kepercayaan seperti pada perselingkuhan atau perasaan dihianati. Seperti bola salju, satu bulatan masalah yang tidak diselesaikan sampai tuntas sejak awal, akan menggelinding menjadi problem lebih kompleks dan membelit kedua belah pihak. Maka akan semakin sulit untuk memecahnya, terlebih bila persepsi tentang kasus ini dirasakan sebagai aib dan merasa tak pantas untuk dibicarakan.

Diperlukan sikap empati bagi kita yang menjadi bagian dari teman, keluarga ataupun orang yang terlibat dalam kasus seperti ini. Tidak mudah untuk menerima dirinya berada dalam kebingungan orientasi sex, sekaligus harus menghadapi lingkungan yang belum tentu dapat bersikap bijaksana.

Bijaksana membicarakan issue sensitif

Tentu saja tidak pantas di bicarakan bila disampaikan dalam bentuk keluhan semata serta disampaikan di tempat yang tidak semestinya atau kepada orang yang tidak akan memberikan peluang penyelesaian masalah. Sementara banyak orang yang mengeluh di dinding ratapan medsos dengan harapan orang lewat menolong anda, sama tidak bijaksananya memendam masalah sendiri seperti anda membiarkan diri terseret ombak dan terancam tenggelam dan anda tahu sendirian serta tak bisa berenang, tetapi berpikir bahwa bila anda berteriak pada penjaga pantai sebagai sebuah kelemahan atau memalukan.

Kasus ini sangat penting bagi kita untuk belajar mengenali kapasitas diri dan menemukan cara serta orang yang tepat untuk membantu anda. di sisi lain, belajar untuk memaafkan diri sendiri dengan menerima keterbatasan sebagaimana orang lain juga pasti memiliki ujian dalam hidup, krisis apapun dapat terjadi pada siapapun. Maka kita perlu berhati-hati memberi penilaian apalagi menghakimi seseorang karena manusia memiliki problemnya masing-masing.

Bila keluarga tak mungkin dilibatkan, ada banyak dukungan dari orang lain, teman, profesional atau tokoh-tokoh yang dituakan atau tokoh agama yang bijaksana dapat menjadi rukukan dalam membicarakan kasus ini dengan apik dan objektif.

Komunikasi keluarga dan pondasi pernikahan

Semua problem dalam keluarga bermuara pada “komunikasi”. Keluarga adalah ikatan batin yang secara sadar dilakukan melalui janji pernikahan dengan satu set tujuan, kebutuhan dan harapan pada setiap orang baik sebagai suami dan istri. Bagi yang sudah berkeluarga mungkin pernah membicarakan harapan dan visi keluarga sebelum menikah, atau menilai sendiri melalui obrolan dan prilaku dari calon pasangan ketika berpacaran atau anda mempercayakan hal itu pada penilaian orang tua atau Mak Comblang yang anda percayai.

Krisis tetap akan muncul sebagai sebuah kejutan dalam hidup, sebuat proses yang alami dan sebagai ujian dalam hidup. Akhir krisis akan bergantung pada kesediaan pasangan untuk berkomitment membangun keluarga, cinta kasih yang mengikat satu sama lain serta sejauhmana pilar-pilar penopang bangunan pernikahan mereka untuk mengelola dan menghadapinya. Pondasi pernikahan itu meliputi seperti kondisi finansial, kematangan berpikir, dan tentu saja nilai-nilai spiritualitas dan norma agama yang melandasi pernikahan.

Krisis pernikahan sepanjang hayat

Terkait dengan krisis, dan spesifik melibatkan minat sex personal pasangan, tak ada yang benar-benar tahu apa yang ada dalam diri pasangannya ketika ujian ini muncul. Namun sebagai sebuah ujian hidup, krisis membutuhkan proses penyesuian dalam pernikahan sama dengan proses perjuangan untuk memenangkan kebahagian hidup. Setengah dari misi kehidupan kita lagi, adalah milik pribadi yang ketika sudah menikah dan memiliki anak, tingkat kepuasannyapun masih ditentukan oleh pemenuhan oleh peran-peran yang muncul kemudian. Menjadi istri, ibu, anak, menantu, suami, dll.

Tidak heran, bila agama mengatakan bahwa menikah adalah setengah dari agama. Sebab tugas dan tanggung jawab sebagai manusia diejawantahkan dalam unit terkecil dalam keluarga. Dan tidak heran bila masalah akan selalu ada, sebab berkeluarga adalah tentang bertumbuh dan berubah. Anda dapat membaca tulisan saya tentang menikah itu…

Seorang muslim demikian juga insan beragama lain, dipandu untuk menghadapi segala ujian hidup ini dengan mengacu pada tuntunan kitab suci, keberserahdirian pada yang Maha Kuasa serta keharmonisan hidup dengan sesama manusia.

Orang baik dan beragama juga mendapatkan ujian

Kenyataan yang menarik dari kasus ini adalah, ketika istri menyadari bahwa tak ada alasan untuk bercerai pada saat sebenarnya suaminya ini adalah orang yang selama ini telah menunjukkan prilaku baik, taat beragama, perhatian pada anak-anak, berperan sebagai laki-laki yang bertanggung jawab. Sehingga masalah ini justru menjadi suatu tantangan untuk dapat dihadapi dan mampu dipecahkan sendiri tanpa melibatkan siapapun. Bisa jadi hal ini mengisyaratkan bahwa selama ini, Ia mampu mengelola dirinya dengan baik dan masih memiliki kesehatan mental dengan menunjukkan prilaku sosial yang tetap berfungsi secara adaptif.

Saya rasa, ini adalah pemikiran yang baik, untuk menyelesaikan kegamangan status orientasi sex suami, secara intern berdua, selama kesehatan mental pribadi kedua belah pihak dapat dipertahankan. Saya mengingatkan pada perumpamaan terseret gelombang, saat kapan anda rasa mampu berenang, saat kapan perlu melibatkan penjaga pantai untuk datang menolong anda. Pada kasus ini, kadangkali diperlukan pemeriksaan medis pada organ reproduksi, hormon, dan sebagainya. Bila diperlukan, dapat berkonsultasi dengan Psikiater atau Psikolog.

Saya menyakini bahwa suaminya pun sedang berada dalam posisi yang kurang lebih sama dengan istri, dalam arti sedang membutuhkan waktu untuk mengatasi krisis ini, dalam bentuk minimal sikap empati dan kesabaran agar dapat melewati fase ujian ini dengan baik. Siapa bilang laki-laki baik- tidak mendapatkan ujian hidup? Dalam kasus ini kita tidak pernah tahu bagaimana ia menjadi sosok yang baik dan positif dihadapan istri dan keluarganya dan sementara itu Ia juga memiliki rahasia, kecenderungan bisex yang diduga akan menjadi aib bagi keluarga. Kita tidak perlu berpikiran negatif dengan menduga-duga apa yang pernah dialaminya, apa yang ada dalam pikirannya dan apa yang membuatnya memiliki minat atau iseng melakukan aktivitas chating dengan seorang laki-laki dengan gaya yang mencurigakan.

Tindakan praktis sebagai sahabat

Sebagai sahabat yang baik, kita dapat melakukan dan menindaklanjuti dengan hal-hal sebagai berikut:

1. Beri kesempatan untuk pasutri tersebut untuk mengatasi kesehatan mentalnya masing-masing, dengan pendekatan yang cocok untuk mereka. Sebagai orang yang beriman, meminta pertolongan dan kekuatan pada Tuhan adalah nomor satu, praktek dzikir, pertaubatan dan saling memaafkan adalah hal yang utama dilakukan. Fokuslah memberikan dukungan untuk tetap melakukan ikhtiar menjaga kesejateraan mental dan spiritual mereka.

2. Beri dukungan keluarga ini untuk menyelesaikan masalahnya dengan membuka komunikasi mereka berdua.

Saling membuka diri adalah awal dari peluang menyelesaikan krisis. Bila tak ada keluarga atau teman yang dianggap mampu menjembatani proses ini, maka carilah penengah atau berkonsultasi dengan ahlinya, dalam hal ini psikolog dewasa yang mampu membantu melalui konseling keluarga.

3. Berhati-hatilah dalam mencari profesional, terkait dengan perbedaan sikap dan kesiapan pasutri mengatasi masalah ini, sebab seperti saya sampaikan bahwa sebagian profesional sudah menganggap hal ini bukan gangguan kepribadian, dan juga bukan gangguan mental mengacu pada PPDGJ dan DSM V, namun sebagian profesional masih mengacu pada DSM IV dan sepakat dengan agamawan dan cenderung memberikan intervensi untuk meluruskan orientasi sex kembali pada pandangan dua macam gender dan jenis kelamin saja ( laki-laki dan perempuan). Diantaranya ada juga profesional yang tidak memihak dan mempertimbangkan pada kondisi dan pilihan bebas klien serta kondisi faktual yang menyertai kasus ini.

4. Mengelola pikiran negatif dalam konflik rumah tangga khususnya perasaan trust, kepercayaan dan rasa aman dalam relasi dengan pasangan, akan berubah seiring dengan proses saling membuka diri dan komitmen menemukan solusi yang positif bagi kedua belah pihak. Ada kasus tentang overthingking yang pernah saya bahas sebelumnya, dapat menjelaskan sedikit tentang bagaimana pemikiran negatif sering merusak kesehatan mental.

5. Tetap menjadi teman yang terbuka sebagaimana contoh dalam tulisan Psikolog Amatir” dalam pemikiran dan sikap empati yang mendukung pada perbaikan dan pemberdayaan. Keputusan apapun yang dilakukan oleh pasangan adalah hak dan tanggung jawab pribadi mereka.

6. Sebagai insan beragama, kita dapat mendoakan agar pasutri ini mendapatkan petunjuk dari Allah swt, diberi keberanian dan mendapat dukungan dari keluarga terdekat untuk mengatasi masalah ini dengan baik.

Bandung, 14 Mei 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

Responses (1)