Baper Pagi-pagi
#jurnaling
“Pernahkah kita berkata sesuatu yang membuat seseorang tersinggung, padahal kita tidak bermaksud demikian?” Sangat mungkin jawabannya adalah “pernah”. Semoga tidak sering walaupun selalu ada peluang untuk hal itu terjadi. Sebuah kata sangat bisa ditafsirkan apapun, apalagi budaya komunikasi kita ada yang menggunakan pola tidak langsung, seperti berpantun, menyindir atau bahkan dengan emoticon kini berpeluang untuk multi tafsir. Mungkin akan ada yang mengatakan, bahwa hal itu sebagai resiko penerima pesan yang baper. “Bagaimana jika pemberi pesan memang dengan sengaja melakukannya dan berusaha bersembunyi dari kesan terlalu kasar di depan publik” Tentu hal ini kembali pada tujuan si penyampai pesan.
Di jaman medsos, komunikasi dan kata-kata ambigu atau dwiarti menjadi lebih berpeluang untuk mendapatkan tafsiran sesuai dengan subjektifitas penerima pesan. Jadi mungkin saja hanya dirinya dan Tuhan yang tahu maksud sebenarnya dari kata-kata tersebut. Lalu orang yang baper menanggung akibat dari pikiran dan persepsinya sendiri dan kebebasan untuk berbicara seolah melindungi hak-hak orang untuk bicara di publik. “Benarkan kita begitu mudah baper atau tersinggung dengan omongan orang yang bisa dibaca oleh siapa saja?”
Jika kata-kata yang diucapkan itu berasal dari publik figur, efeknya akan lebih sensitif lagi, sehingga saya masih tetap menyukai formula diam itu emas. Bukan berarti kita tidak termasuk publik figur, maka kita boleh bicara apapun, atau bebas memposting tentang perasaan dan pendapat di ruang publik. Itu akan kembali pada tujuan dan manfaat yang diperolah masing-masing. Berkata yang baik dan diam saja itu tidak mudah. Apa yang kita rasa baik, terutama diukur oleh subjektivitas kita sendiri, yang masih berpotensi untuk membuat orang lain terluka.
Jadi seperti baper pagi hari ini, saya merenungkan salah satu petuah guru saya,”Jangan menyakiti perasaan orang lain”. Ternyata itu perlu dibedah satu per satu dalam cara kita berinteraksi dengan lingkungan sosial, cara kita bicara dan berkata, pilihan kata, juga ekspresi kita yang kini bisa diwakili oleh emoticon atau stiker medsos. Semua itu sangat mungkin masih bisa menyakiti lawan bicara, walaupun tak ada niatan seperti itu. Ya, walaupun niat dalam hati bersih seputih kapas. Kita berpeluang menyakiti orang lain. “Serem bukan?’
Bagaimana kalau ternyata setelah direnungkan kembali, kata-kata kita memang mengandung hal yang menyakitkan, membuat hati seseorang terluka dan bisa jadi memang pikiran negatif kita sudah mendahului kalimat yang keluar itu. Walaupun niatnya baik. “Baik?” Tunggu dulu…“Apakah bisa pikiran kita yang negatif terhadap orang , walau setitik saja, menjadi baik?” Bisa juga ternyata lawan bicara tidak menyadari tetapi setitik nila itu meracuni pikiran dan diri kita sendiri. Bisa saja orang lain terlalu “lempeng” untuk menyadarinya atau memang mungkin tak mengganggu orang tersebut. Pikiran positif bukan apa yang terucap, tapi tentang apa yang ada dalam pikiran kita sendiri.
“Tak maksud aku menyakiti hatimu”, begitulah kata-kata pembenaran dan upaya kita untuk mengoreksinya. Tetapi panah terlanjur sudah diluncurkan, dan dia bisa menusuk jantung orang lain atau kembali ke jantung kita sendiri. Ya. Setidaknya efek kata akan kembali pada kita.
Terkadang saya begitu baper juga saat saya mengingat hal seperti ini. Betapa banyak kata yang pernah saya tuliskan atau diucapkan dalam blog ini atau di dinding medsos atau di ruang publik, yang tak pernah tahu seberapa hal itu berpeluang bisa membuat seseorang terluka. Walaupun benar-benar diniatkan baik dan tentu saja diharapkan bermanfaat untuk diri dan orang lain. Rasanya, benar-benar tak mungkin mengontrol semua efeknya. Seperti bulu-bulu yang diterbangkan angin dan membawanya pergi kemana saja.
Untuk yang merasa tersinggung atau pernah disakiti, beribu maaf dan permohonan setulus hati agar dibebaskan dari hisab atas perbuatan ini. Mungkin memang pagi ini lagi baper, tapi baper yang InsyaAllah baik untuk memantau pikiran yang muncul otomatis, melatih dialog batin yang sangat mudah untuk terpengaruh oleh munculnya lintasan pikiran dan peristiwa yang kita tafsirkan secara subjektif. “Wait!”….
“Mengapa aku berpikir demikian?”
“Apakah ini benar?”
“Apakah ini ada penjelasan logisnya?”
“Apakah bermanfaat bagiku?”
Ya. Jurnaling pagi membantu saya memetakan pikiran, meletakkan kepenatan agar kita belajar lebih arif dalam menghadapi pertarungan dalam diri kita sendiri. Tulisan ini sengaja kusimpan di sini, semoga bermanfaat bagi yang ingin belajar jurnal pikiran. Semangat pagi
Bandung, 10 Februari 2022