Photo by Green Chameleon on Unsplash

Bagaimana caranya berpikir positif, saat kita emosional?

Iip Fariha

--

Menulislah!…

Kita tak bisa menasehati orang saat situasinya demikian buruk, seperti saat sedih yang amat sangat, sampai berpikir jernihpun tak bisa. Ini bukan tentang orang lain, kitapun seringkali tidak dapat fokus pada perkataan orang lain, sekalipun kata-kata itu bertuah dengan nasehat yang baik, saat suasana hati kita sedang gundah dan dikuasai bagian otak emosi. Saat emosi yang menguasai diri, semuanya tampak sebagai hal yang membahayakan sehingga respon kita seringkali acak dan bertindak berdasarkan apa yang emergensi pada saat itu. Dalam teori emosi disebutkan tindakan yang muncul dalam situasi stress berat hanyalah kabur, menyerang atau membeku. Bentuk prilakunya dapat terlihat sebagai ekspresi kemarahan, atau menarik diri, merasa depresi atau apatis. Saat kita tak dapat mengendalikan pikiran dan perasaan, semua tindakan kita tak ada yang efektif. Untuk memahami mekanisme emosi ini dapat dibaca kembali tulisan saya tentang tiga langkah mengenali emosi di Tiga langkah belajar (lagi) mengenali emosi

Yang diperlukan saat gundah adalah menuliskannya, terutama bila tak mungkin mengungkapkannya dalam bentuk curhat pada teman. Ini adalah tindakan menguras semua hal yang ada di pikiran dan melepaskan semua perasaan buruk dalam diri kita sehingga semuanya “ada di luar diri” kita. Maka kita mulai belajar berjarak dengan situasi kehidupan kita sendiri, dengan melihat bahwa kejadian itu sebagai suatu kejadian saja, secara objektif suatu hari dapat kita telaah ulang.

Terkadang tak ada kawan yang mau dan siap mendengarkan tanpa menghakimi kondisi buruk yang terjadi. Maka menuliskannya menjadi suatu cara yang efektif, agar benang kusut dalam pikiran dapat ditelurusi ulang mana ujung dan mana pangkalnya. Menulis akan membantu membangun hubungan kembali dengan lingkungan sekitar kita. Lalu perspektif kita akan berubah dengan kita membaca tulisan kita sendiri sendiri. Dengan membaca ulang apa yang pernah dituliskan, terkadang muncul persfektif baru dalam menghayati masalah, dan ini menggiring seseorang untuk merenungkan ulang apa yang terjadi. Melatih fungsi kognitif untuk berfungsi lebih baik, lalu ia membawa seseorang pada kesembuhan.

See the bright side is a see the right side. Ibaratkan saja, bahwa melihat dari sisi kiri itu negatif dan ketika kita beralih melihat sisi sebelah kanan, maka kita dapat melihat sisi lain yang berbeda. Membaca ulang tulisan sendiri, sama dengan melihat diri dalam cermin, melihat sisi yang berbeda dari diri secara lebih objektif. Maka menempatkan diri sebagai “objek” yang diamati merupakan satu teknik yang baik sebagai self reflexion, sama dengan proses merenungkan kembali, bertafakur, melakukan evaluasi dan berjarak dengan masalah.

Mengubah paradigma berpikir dapat mengubah penilaian kita terhadap masalah yang dihadapi, sesederhana itu sebenarnya. Meskipun prosesnya tentu perlu dilatih. Karena ternyata tidak semua orang siap beralih melihat sisi yang berbeda. Rasa aman dan kekakuan berpikir tidak mudah dikalahkan oleh cara sederhana menggeser tempat kita duduk dan melihat dunia dari jendela yang berbeda. Kebanyakan kita cenderung tidak memiliki keberanian sekalipun untuk beranjak dari pola lama yang menjerumuskan, dari rasa sakit yang membelenggu dan dari rasa aman untuk membiarkan diri sendiri dalam kepedihan.

Saya sering berdiskusi dan terkadang berlatih menulis hal-hal sederhana bersama kawan-kawan, karena itu saya berada bersama Komunitas Menulis Bersama. Bahkan tulisan sederhana ini berubah menjadi beberapa buku ontologi puisi, esai, prosa liris dan e-book. Namun pada awalnya saya mengetahui fungsi terapeutik menulis ini dari Retmono Adi yang sangat berdedikasi mendorong orang lain atau kliennya menulis untuk self healing. Blognya penuh dengan tulisan orang yang berlatih menulis. Menulis untuk berani mengakui kerapuhan diri dan berani membentuk diri yang lebih kuat dan sehat. Ia pernah menulis-sebagai-cara-terapi-jangka-pendek yang dapat menjadi alasan kita menulis.

Menulis yang dibimbing dapat mengarahkan pada memperbaiki fungsi kognitif, dengan membangun dunia dalam bayangan kita menjadi sesuatu yang hidup dalam tulisan. Menuliskan apa yang terjadi, apa yang aku pikirkan, bagaimana aku merasakannya, dan apa yang akan terjadi. Menulis dengan cara instrospeksi dan membangun transformasi perasaan secara perlahan dan halus. Menulis belajar menerima masa lalu dan membangun bayangan masa kini menjadi lebih nyata dan terkendali. Menuliskan rencana dan membangun masa depan dengan lebih positif dan penuh harapan. Menulis jurnal juga memang menjadi salah satu teknik dalam beberapa pendekatan terapi, seperti terapi CBT atau teknik terapi psikologi aliran kognitif lainnya.

Memang sulit untuk menutup masa lalu yang menggelisahkan, dari dendam dan rasa kecewa, meskipun semua itu sudah berlalu. Bahkan hari inipun seringkali beban masa lalu masih kita kaitkan dengan pengalaman saat ini, seolah kita adalah produk masa lalu yang tak bisa berubah. Ya, memang ada masa lalu tetapi tentu bisa berubah bila kita memutuskan untuk mengubahnya. Berbagai nasehat sampai terapi pemaafan mencoba memberikan solusi atas kegetiran hidup di masa lalu. Namun kebanyakan kita menolaknya, berusaha melupakan tapi menolak untuk melepaskan. Ya kita semua sering masih membawa pengalaman apapun di masa lalu sebagai pondasi cara berpikir dan bertindak di hari ini, bahkan masa lalu itupun sering menjadi bayang-bayang yang membuat masa depanpun begitu suram. Seolah kita tetap hidup di masa lalu.

Menulis hampir sama dengan praktek meditasi atau mindfulness mengajarkan kita untuk mawas diri, mengawasi lintasan pikiran yang terus menerobos tanpa kontrol. Lintasan dari pikiran masa lalu yang menyakitkan dan masa depan yang menggelisahkan. Mari kita melihatnya dengan cara berpikir kaum Stoik.

Bagi kaum stoik, salah satu pandangan filsafat, mereka melihat segala apa yang terjadi dalam hidup ini sebagai hal yang dapat dijelaskan. Pasti ada alasannya dan tentunya tak perlu menolak atas apa yang terjadi. Tetapi tak perlu khawatir atau takut juga, karena semua hal di dunia ini masih berjalan dengan harmonis. Walaupun ada penderitaan, tetapi ada juga kegembiraan, misalnya kita masih segar bugar, masih bisa menghirup udara pagi, masih bisa makan dengan gigi yang lengkap, atau masih bisa bekerja mencari nafkah. Selalu ada hal lain yang positif di samping kejadian buruk dalam hidup. Semua hal itu tak perlu ditolak, tapi cukup dihadapi dengan bijaksana agar hidup kita tetap bahagia. Alam semesta ini sudah demikian harmoni dalam pengawasan dan pemeliharaan Tuhan, sehingga bila ingin bahagia, maka perlu bersikap harmoni pula bersama alam semesta. Stoikisme terkadang disebut sebagai “menderita dalam kesunyian”, namun seseorang tidak perlu terbawa emosi negatif (pathos), takut misalnya, tetapi bahagia dengan kemerdekaan penuh, termasuk menerima cara kematian. Orang-orang Stoik percaya bahwa emosi negatif yang menghancurkan manusia dihasilkan dari keputusan yang salah, dan bahwa seorang yang bijaksana, yaitu orang yang memiliki “kesempurnaan moral dan intelektual,” tidak akan pernah mengalami emosi-emosi yang merusak kebahagiaan, misalnya marah berlebihan, panik berlebihan, sedih berlebihan, dan sebagainya.

Apakah masalah kita akan selesai dengan menulis dan mencari-cari hal positif dalam hidup?. Tentu saja tidak serta merta demikian, sebab proses hidup terus berjalan dan kita perlu belajar cara-cara baru yang lebih efektif dalam menghadapi situasi di lingkungan kita. Hanya bila kita mau berubah, maka lingkungan dapat berubah. Orang lain tidak bisa kita pastikan untuk menyetujui perubahan atau mengikuti kemauan dan harapan kita, mereka tentu saja memiliki kebebasannya sendiri untuk memilih sikap dan perilakunya. Sebagaimana kitapun memiliki kebebasan dan dapat memilih untuk menentukan tindakan kita sendiri. Sayangnya, kita sering menjadi “budak dari diri kita” yang lain. Kita tak bisa fokus berpikir logis, karena terlalu banyak ‘aku’ didalam diri kita yang juga ingin menguasai dan mengatur. Itulah sebabnya problem terbesar adalah bertindak mawas diri dan fokus untuk bersikap adil sejak dalam pikiran kita sendiri, sehingga dapat mengalahkan “keakuan”dalam diri untuk memihak pada kebaikan, kebenaran dan kebahagian hidup kita.

Sebagian kita masih sering dikalahkan oleh kemarahan, rasa sakit hati dari kata-kata yang disampaikan orang lain, dan menerima keburukan lingkungan tanpa menyaringnya. Tentu saja, tidak semua hal didunia ini menyenangkan, setiap hari ada kematian, ada bencana, ada kesulitan hidup. Selalu saja ada orang culas yang menipu, ada pencopet, ada penjahat yang berniat mencelakakan kita atau ada orang egois yang tidak empati dan menyebalkan. Bahkan terkadang ada saja orang-orang terdekat kita seperti anak, suami, istri, orang tua, teman yang menyabalkan dan tidak sesuai dengan harapan kita. Tidak segala hal diluar diri kita mampu kita kendalikan, hanya pikiran dan tindakan kita yang dapat kita atur dan kita seting untuk menanggapi kekacauan ini dengan menyaringnya. Ada yang perlu kita terima, kita setujui atau kita adopsi sebagai nilai-nilai baru yang positif, ada yang benar-benar tidak penting dan cukup abaikan saja.

Ketika menuliskan penderitaan hidup, diharapkan seseorang mampu menjelajahi perasaannya, bahkan semua pengalaman traumatiknya dan mengeluarkan racun itu dari dirinya. Ada penjelasan mengenai pola aktivitas di otak saat kita menulis, karena ketika kita menulis, kedua belahan otak bekerja melakukan sinkronisasi. Informasi emosional dan linguistik sedang diproses / diintegrasikan secara bersamaan. Bersamaan dengan itu pola pikir baru sedang dibentuk, dan cara pandang terhadap dunia menjadi bergeser. Ketika menulis, mungkin tuliskan pula bagaimana cara kita menghadapi dunia yang keras ini menjadi lebih indah dan adaptif sehingga memihak pada kesejahteraan hidup dan kebahagiaan jangka panjang. Tuliskan pula rencana perubahan Anda dan bagaimana harus melakukannya dengan bertahap.

Karena itu menulislah, 20 menit saja setiap hari, siapkan agenda khusus, sehingga tidak perlu menulis curhat di wall medsos. Menulis khusus sebagai proses healing tanpa merasa bersalah, ataupun menghakimi diri sendiri. Menuliskan apapun yang memang perlu untuk di tumpahkan, ibarat kentut di pagi hari. Bila hal ini membantu anda menstrukturkan kembali pikiran dan mampu membimbing Anda untuk merencanakan tindakan lebih lanjut yang lebih baik. Maka ini cukup berharga untuk dicoba.

Selamat menjelajah!

Bandung, 28 Agustus 2020

--

--

Iip Fariha
Iip Fariha

Written by Iip Fariha

Psikoterapis, marital konselor, praktisi psikodrama

Responses (1)