Abang
Belajar itu bukan duduk mencatat dan melihat guru mengajar, belajar itu menyerap hikmah yang terserak dimanapun kita menemukannya.
Suatu hari, saya bermaksud pulang dari suatu acara yang melibatkan beberapa dosen dan mahasiswa. Saya sedang menunggu angkutan umum ketika tiba-tiba muncul Bang Leo dengan mobil mungilnya di hadapan saya dan beliau berhenti. Setelah bertanya, akhirnya saya memutuskan ikut bersama beliau sampai suatu tempat tertentu. Perjalanan memang cukup jauh sehingga kami memiliki cukup waktu untuk ngobrol ngalor ngidul, tertawa bersama dan menikmati perjalanan itu. Itu adalah hari yang luar biasa bersama seorang guru, seorang Abang, Drs. Leonardus F. Polhaupessy.
Saya akan selalu ingat hari itu. Walau secuil kisah tapi sangat berharga.
“Bang, mobilnya kecil amat?,” kataku. Mobil ini terlalu sederhana dan kecil untuk Abang. “Aku merasa agak kesempitan duduk di mobil ini, atau emang aku kegendutan ya?”, pikirku saja dalam hati, ha ha ha..
“Saya biasa pergi sendiri, mobil ini nyaman saja untuk pergi-pergi di Bandung, jalannya pelan-pelan juga”, jawab Abang santai. Mobil ini hanya 1000 cc yang sederhana dan rasanya tergolong mobil murah di kelasnya. Kukira beliau bukan tak sanggup membeli mobil lebih bagus, jadi ini soal kesederhanaan dan mencukupkan sesuai kebutuhan saja. Dulu saya membayangkan kalau kelak bisa beli mobil pasti ingin yang bagus. Ternyata obrolan ini melekat di kepala saya dan saya akan mengingat Abang untuk lebih memilih mobil kecil dan versi hemat. Lagipula kukurilingan di Bandung yang padat dan jalanan umumnya sempit, ngapain juga pakai mobil besar dan CC besar.
“Jadi Iip tinggal di Bandung sekarang?”.
“ Iya Bang, saya mendapat jodoh di sini , cinta saya sudah satu paket dengan kota kembang”. ha ha ha..
“Ah ya, Saya juga cinta Bandung, disini adem, orang-orangnya baik, ramah, ini adalah rumah kita, saya rasa ini kampung halaman kita, ha ha.. ha..
Bagi yang pernah mengenal Bang Leo, pasti senang mendengar suara beliau yang nge-bass dan tertawanya yang renyah. Kumis hitam dengan bulu mata lentiknya membuat beliau “cantik tapi perkasa”. Ah apa pula ini, aku merasa tidak pernah merasa duduk dengan seorang laki-laki yang akan mendominasi atau menganggu, walaupun Abang ini kalau menatapkupun tak pernah sungkan. Kami merasa seperti teman, sepertinya saat bersamaku beliau menjadi lebih feminin. ha ha ha...
Si Abang banyak bercerita keseruannya menikmati Bandung dan menjadi warga Bandung. Saya sampai lupa bahwa beliau orang Menado, sejak kapan ke Bandung dan siapa keluarganya yang masih adapun saya tak tahu. Kesan saya yang tak terlalu suka urusan kehidupan pribadi orang lain, beliau orang yang sangat toleran dan harmoni dengan orang lain. Saya tak pernah bertanya bagaimana hari-harinya dan hanya mendengar saja. Obrolan kamipun benar-benar ngalor ngidul tanpa tema dan hanya hal-hal yang lucu dan ringan.
Beliau pernah bercerita bahwa di Menado sana Ia juga sangat harmonis dengan tetangganya, kampungnya dengan beragam agama tetapi sangat rukun dan hidup tolong menolong. Bila kita ingat sekarang, bahwa pernah ada tragedi Poso yang memilukan itu, saya tak percaya bahwa disana ada manusia brutal yang jauuuh sekali dari gambaran yang pernah saya dengar langsung dari Abang.
“Jadi siapakah lelaki beruntung itu?” tanyanya tentang suami saya. “ Ha ha.. ha… Dia orang Bandung juga Bang, ngakunya begitu, lahir dan besar di Bandung. Suami saya berayah dari Jawa Timur dan beribu dari Jawa Tengah, tetapi katanya lagi, silsilah leluhurnya bersambung ke bangsa Ganim, Hadramaut- Yaman. Sementara saya memiliki nenek buyut dari jalur ibu sebagai orang sunda Garut dan kakek buyut yang tampaknya berasal dari tasik tetapi seorang saudagar yang tidak diketahui asal usulnya, namun tampangnya katanya, seperti berwajah Asia Selatan. Kadang saya dianggap orang Pakistan, Arab, bahkan ada yang menyangka saya orang Aceh. Entahlah.. Kami memang hasil campur aduk bangsa-bangsa seperti juga kebanyakan penduduk Bandung yang sejak dulu menjadi kota Paris Van Java. Apakah itu penting?. “Kita adalah manusia yang bercampur baur dari nenek moyang yang makin tak jelas, asal usul gen kita sudah tak ada yang berasal dari ras murni, betul?”
Kami lalu bercerita betapa warga negara Indonesia ini kaya dengan budaya dan hidup harmonis sebagai bangsa. Saya bercerita bahwa guru ngaji saya adalah orang Medan yang tinggal di Tasikmalaya, menikah dengan orang lokal sunda asli Tasik. Sedangkan saya selalu punya teman Tionghoa sejak SMP dan ketika kuliah bertemu dengan orang-orang yang lebih beragam lagi. Tetapi kami di kampus merasa sebagai satu keluarga besar.
Kisah kamipun menguatkan betapa isu kesukuan, bahasa, agama dan campur aduk itu semua bisa menjadi perekat kekerabatan, kasih sayang dan harmoni kita sebagai bangsa. Saya merasakan emosi cinta penghargaan pada manusia juga tanah air. Ilmu Psikologi itu telah membawa kita untuk belajar mencintai saudara kita sendiri sebangsa dalam laku sehari-hari, dalam sikap mental dan perlakuan kita pada orang lain. Saya teringat kata-kata bu Yuke, dosen wali saya agar saya banyak main dan hore-hore dengan kawan-kawan di kampus dalam acara kekerabatan atau nonton bareng temen. Cita, cinta dan pesta katanya harus imbang. Waktu dulu saya melihat hal ini sebagai sikap hedonis saja. Ah nanti saja saya berkisah bab yang ini. Sekarang kembali pada Si Abang disamping saya.
Saya tak merasa sungkan duduk berdua dalam perjalanan satu mobil dengan seorang laki-laki. Beliau dosen saya, tampangnya gagah, ramah, baik hati dan keren sebagai Psikolog. Ini penting saya sampaikan lagi, karena kami di kampus selalu memanggil dosen dengan sebutan Abang, Akang, Teteh, atau Ceuceu. Hanya beberapa saja yang kami panggil dengan sebutan Bapak dan Ibu, mereka biasanya dosen senior dan sangat disegani karena keilmuan dan posisinya, walaupun dalam relasi sosial, tampaknya sama saja.
Tentang Abang ini, beliau memang Abang semua orang. Beliau belum atau mungkin memang tak berminat menikah, itu bukan urusan saya, tapi saya merasa hal itu membuat saya nyaman dan beliau sangat santun. Kelak pengalaman ini membuat saya belajar mengerti dan berempati terhadap masalah pilihan hidup dan sudut cara pandang seorang laki-laki pada perempuan. Ah ya kita memiliki anima animus bukan? itu kata Jung, tapi saya merasakan hal itu dari Abangku ini.
Terlepas dari pilihan hidupnya, yang saya tahu kala itu, beliaulah yang pertama kali memiliki kemampuan hipnoterapi dan memiliki sertifikasi Teknik Behavioristik, yang hanya dapat diperoleh dari luar negeri. Dosen-dosenku memang termasuk generasi awal, murid pertama para perintis psikologi di Indonesia , khususnya Unpad, sehingga mereka perlu belajar keluar negeri untuk hanya satu sertifikasi keahlian tertentu.
Tibalah kami berbicara tentang profesi, masalah klinis klien dan bagaimana kita menghadapinya. Saya kembali menemukan figur seorang Psikolog klinis yang santai seperti beliau.
Alkisah, ada seorang ibu muda berkerudung mengalami gangguan kecemasan akut, beliau berkonsultasilah dengan Abang di rumah pribadinya di jalan banda. Rumah bercat putih dan tampak jadul tetapi asri itu mudah dikenali. “Apakah ibu masih melakukan shalat?” Tanya Abang.
“ O ya Iip, mengapa orang shalat masih mengalami kecemasan?”. Pertanyaan ini mengagetku sekaligus membuatku merenungkan kembali pengalaman pribadi. “Apakah saya sebagai muslim juga punya problem serius yang seharusnya sangat mudah diselesaikan dengan shalat ya?” demikian pikirku.
Diskusipun berlanjut dengan tawa tergelak khas Abang dan kamipun berbicara dari berbagai sudut pandang. Sayapun menyesal, mengapa saya gak rajin nge-date dengan beliau sejak dulu ya. Saya bahkan tak sempat tahu sejak kapan Abang sakit dan tahu-tahu, ketika saya ingin menengoknya, keluarga sudah melarang kami bertemu dengan beliau dengan alasan memberi kesempatan beliau istirahat. Sayapun menangis, andai saya boleh mengutuki diri, tentu saya tahu kemusliman saya melarang kita menyesali takdir tetapi dapat dan memperbolehkan saya untuk berdoa pada Allah, agar Abang sampai juga pada kasih Tuhan yang mengasihinya.
In memoriam Abang Leo, Semoga damai bersamamu selalu.
Bandung, 1 November 2020